Header Parasali
“Putri Cening Ayu, nongos ngijeng jumah, Mémé luas malu, ka peken mablanja, apang ada darang nasi.”

Putri Cening Ayu, mungkin akan menjadi salah satu lagu anak Bali yang tidak pernah terlupakan. Kendati terdengar begitu ringan sekaligus mudah dihafal, makna substansialnya tidak pernah gagal mengantarkan pendengar pada masa kecilnya yang tak terlupakan. Tanpa disadari, keberadaan lagu anak berbahasa Bali tersebut menjadi salah satu upaya leluhur dalam mewariskan kebanggaan atas identitas krusial pada diri, yaitu bahasa daerah. Menumbuhkan karsa melalui karya menunjukkan betapa masifnya kreativitas manusia dalam mengabadikan pesan krusial bagi generasi penerus. Pesan itu adalah untuk senantiasa menjaga jati diri sebagai komponen terdepan dalam menyejahterakan masa depan.

Hal ini tentunya tidak hanya berlaku bagi masyarakat Bali, sebab pada dasarnya setiap keberadaan bahasa daerah memiliki keistimewaan yang tidak dapat diilustrasikan dengan mudah. Sayangnya, keberadaan bahasa daerah saat ini tidak lagi seriang lagu anak-anak tempo dulu. Berbagai isu kemunduran eksistensi bahasa daerah belakangan ini semakin menjadi sorotan yang tak kunjung usai diperbincangkan. Hingga akhirnya, kini bangsa Indonesia kembali berhadapan dengan berbagai tanda tanya yang seharusnya tidak pantas untuk dipertanyakan.

Pada skala nasional, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mengidentifikasi 718 bahasa daerah sebagai khazanah bangsa (Laboratorium Kebinekaan dan Sastra, 2023). Kendati menunjukkan angka yang spektakuler, isu tentang kemunduran bahasa daerah bukanlah sebatas isapan jempol belaka. Kondisi ini terbukti dari hasil pengkajian 94 bahasa daerah yang ada di Indonesia, status 24 bahasa daerah terancam punah bahkan 5 telah dinyatakan dalam status kritis. Apabila tidak ditindaklanjuti dengan serius, koleksi bahasa daerah yang punah di Indonesia tentu akan bertambah secara signifikan. Tidak tanggung-tanggung, hingga kini telah teridentifikasi 8 bahasa daerah di Indonesia yang resmi punah.

Pada akhirnya, untuk menyikapi kondisi bahasa daerah dengan lebih sistematis, pemerintah menyediakan berbagai skema strategis pelestarian berbagai bahasa daerah. Upaya nasional tersebut dikenal dengan program revitalisasi yang bertujuan untuk mencapai perlindungan bahasa daerah di Indonesia. Bertepatan dengan program Merdeka Belajar tahun 2022 yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi–Nadiem Anwar Makarim–revitalisasi bahasa daerah telah digencarkan oleh berbagai unit pelestarian dan pengembangan bahasa. Tidak terkecuali Provinsi Bali dengan program pelindungan dan pelestarian bahasa, aksara, dan sastra Bali (Giri, 2017; Putra et al, 2022; Sugita & Tilem, 2022).

Bahasa Bali dinyatakan masuk dalam salah satu objek revitalisasi bahasa daerah yang digencarkan oleh Badan Bahasa. Sekalipun masuk dalam kategori bahasa daerah dominan dan relatif aman dari kepunahan, berbagai isu miring yang menerpa bahasa Bali tidak dapat disepelekan. Kedudukan Provinsi Bali sebagai salah satu pionir daerah tujuan wisata telah memberikan ancaman serius kepada masyarakat. Hal ini dapat diamati dari pengaruh budaya asing dan teknologi yang terus-menerus menjauhkan generasi muda dari kecakapan berbahasa Bali. Fenomena transformasi budaya modern saat ini kian memupuk kekhawatiran pihak-pihak yang mampu memahami kedudukan bahasa daerah lebih dari sekadar media komunikasi.

Kemunduran wibawa bahasa daerah, khususnya pada kalangan generasi muda bahkan menimbulkan spekulasi yang ekstrem. Sekalipun bukan cenayang, banyak peneliti yang berspekulasi bahwa bahasa Bali akan ditinggalkan pada tahun 2041 apabila kemunduran tersebut terus berkelanjutan. Prediksi tersebut sesungguhnya tidaklah berlebihan. Hasil riset telah mengilhami bahwa pada era modern keagungan bahasa daerah Bali yang dikenal dengan budaya Nyastra semakin banyak ditinggalkan. Kondisi ini juga berkaitan dengan spektrum luas bahasa Bali yang juga memiliki sastra dan aksara. Hal ini menjadikan tantangan kemunduran bahasa Bali cukup kompleks, tak hanya semakin menipis dalam komunikasi, tetapi juga pandangan bahwa fungsi aksara Bali tak lagi realistis (Sugita & Tilem, 2022; Sugita, Setini, & Anshori, 2021).

Pelestarian bahasa Bali saat ini diupayakan dengan begitu optimal, tetapi sayangnya masih ada substansi krusial yang sedikit terlupakan. Upaya pelestarian tersebut acapkali mengutamakan penggunaan bahasa Bali dalam komunikasi semata. Sekalipun tujuan tersebut memang menjadi agenda prioritas dari program revitalisasi bahasa daerah, masyarakat perlu memahami bahwa bahasa Bali memiliki banyak komponen, termasuk aksara (Kemdikbud, 2022). Komponen aksara Bali sangat perlu mendapatkan perhatian, bukan hanya karena aksara tidak dimiliki oleh semua bahasa daerah, tetapi atas dasar masifnya peran aksara Bali bagi peradaban. Windya (2018) menjelaskan bahwa keberadaan aksara Bali memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan serta pengembangan kebudayaan.

Kedudukan bahasa Bali sebagai salah satu bahasa daerah yang dominan rupanya tak hanya mengacu pada masifnya jumlah penutur aktif, tetapi juga keberadaan aksaranya. Aksara Bali memang memiliki peran yang luas dan juga menjadi pilar keberlangsungan budaya. Pertama, aksara Bali sangat berperan untuk kebutuhan keagamaan ataupun transendental yang dikenal sebagai aksara wijaksara.

Sementara itu, aksara Bali juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya dalam sastra. Fungsi aksara Bali tersebut mengacu pada komponen wreastra dan swalalita. Pada ranah keberlangsungan sastra, aksara Bali digunakan untuk penulisan bahasa Sansekerta dalam kitab suci Weda. Tidak hanya itu, aksara Bali juga digunakan dalam bahasa Bali latin yang digunakan dalam karya sastra, seperti geguritan (Putra et al, 2022; Windya, 2018).

Aksara Bali memang menjadi komponen penting yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa, sastra, bahkan kehidupan masyarakat. Mengacu pada kondisi keterpurukan bahasa daerah saat ini, program revitalisasi bahasa Bali sangat perlu untuk meluruskan persepsi publik terhadap keberadaan aksara Bali. Sebab, aksara Bali bukan semata penghias papan nama gedung, tetapi juga substansial bahasa daerah yang agung dan menunjukkan kemajuan peradaban masyarakat Bali. Permasalahan bagi bahasa daerah Bali secara utuh tidak terlepas dari kontribusi kemunduran aksara Bali. Melalui berbagai temuan di lapangan, riset terkait telah menjelaskan bahwa permasalahan bahasa Bali memang mengacu pada ketidakmerataan jumlah penutur. Hal ini bermakna bahwa hanya kelompok masyarakat tertentu di Bali yang masih cakap berbahasa daerah. Temuan tersebut semakin diperkeruh dengan menurunnya kuantitas penggunaan bahasa daerah dalam keseharian. Tidak hanya itu, teknologi rupanya kembali dikambinghitamkan karena dianggap tidak mampu menyejahterakan bahasa daerah. Dengan kata lain, kehidupan pada era saat ini diyakini tidak lagi memerlukan eksistensi bahasa daerah, apalagi aksara Bali (Giri, 2017; Mustika, 2018).

Keyakinan bahwa bahasa, aksara, dan sastra Bali tidak lagi relevan bagi kebutuhan generasi muda saat ini begitu kontradiktif dengan peran universal yang diungkapkan Koentjaraningrat (Sugita dan Pastika, 2022). Padahal untuk menjaga kekayaan budaya Bali tetap lestari, eksistensi bahasa, aksara, dan sastra sangat diperlukan. Aksara, bahasa, dan sastra Bali bagaikan sebuah akar pohon yang menyokong keberlangsungan budaya dan pariwisata Bali. Sayangnya, persepsi generasi muda saat ini masih belum cukup diluruskan dengan baik dan justru fungsi aksara Bali malah semakin dipertanyakan. Tidak sedikit generasi muda Bali yang meyakini bahwa bahasa, khususnya aksara Bali bukanlah muatan penting dalam pembelajaran. Hal ini juga berkaitan dengan munculnya fitur teknologi yang memungkinkan penulisan aksara dilakukan oleh sistem kibor dengan transliterasi huruf latin ke aksara Bali, begitu pun sebaliknya. Padahal, salah satu esensi menulis aksara adalah dilakukan secara konvensional sebagai suatu keterampilan mendasar. Riset juga menunjukkan bahwa tak sedikit pelajar memandang pembelajaran bahasa Bali, apalagi aksara sebagai subjek yang begitu sulit dikuasai. Kondisi pelik ini kemudian menjadikan ranah pendidikan formal tidak luput dari sorotan gerakan pelindungan dan pelestarian bahasa daerah untuk dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih relevan (Putra dkk., 2022; Suweta, 2019).

Penelitian dari Diari dan Agung (2019) meyakini bahwa pembelajaran formal di sekolah untuk menekuni bahasa daerah telah berubah secara progresif. Pada era digitalisasi, perhatian pada sistem pembelajaran juga semakin kritis. Peran pembelajaran aksara, bahasa, dan sastra Bali saat ini sering menjadi momok yang dihindari oleh pelajar. Perasaan takut dan enggan untuk mengenali bahasa hingga aksara Bali justru menjadi masalah radikal yang tidak selalu disadari. Padahal, program revitalisasi bahasa daerah memerlukan pilar mendasar tersebut untuk dapat berjalan dengan lebih efisien. Kecintaan pelajar terhadap aksara, bahasa, dan sastra Bali menjadi tanggung jawab banyak pihak, tidak hanya sekolah, tetapi juga keluarga dan lingkungan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyoroti inovasi pembelajaran berbasis digital diyakini sebagai kebutuhan penting di era modern. Pandangan ini meyakini bahwa digitalisasi dalam pembelajaran sangat relevan dengan karakteristik siswa masa kini sehingga motivasi dan minat dapat ditingkatkan. Menyadari kondisi tersebut, Balai Bahasa Provinsi Bali menggagas platform pembelajaran aksara, bahasa, dan sastra Bali berbasis digitalisasi bernama laman Parasali.com.

Platform laman Parasali.com dirancang sebagai media edukasi bagi peserta didik guna menyikapi fenomena kemunduran bahasa, aksara, serta sastra Bali saat ini. Laman Parasali.com dirancang agar dapat digunakan pada tripusat pendidikan, yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat. Tidak hanya itu, gagasan tersebut juga memiliki tujuan yang searah dengan revitalisasi bahasa daerah, khususnya dengan menyasar substansi paling mendasar. Hal ini mengacu pada upaya menumbuhkan motivasi pelajar untuk mempelajari bahasa, aksara, dan sastra Bali dengan perasaan bahagia, tidak hanya pada lingkungan sekolah, tetapi juga di keluarga dan masyarakat. Sehingga keberadaan bahasa, aksara dan sastra Bali akan tetap lestari dan dicintai oleh para generasi muda sebagai penerus kebudayaan Bali saat ini dan selanjutnya.

Tut Wuri HandayaniBalaiDuta Bahasa Bali

Jalan Trengguli I No. 34 Tembau Denpasar – 80238

Telp. : (0361) 461714 / Faximilie : (0361) 463656

Senin - Jumat 07.30 - 16.00 Wita | Sabtu & Minggu Tutup

balaibahasa.bali@kemdikbud.go.id

Kunjungi Kami !

© 2024 | Balai Bahasa Provinsi Bali